I. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu komponen bahasa, semantik pernah kurang diperhatikan orang karena objek studinya, yaitu makna, dianggap sangat sukar ditelusuri dan dianalisis strukturnya. Makna sangat bersifat arbitrer, berbeda dengan morfem atau kata, sebagai sasaran dalam studi morfologi yang strukturnya tampak jelas dan dapat di sekmen-sekmenkan.
Namun dewasa ini, keadaan itu sudah berbalik. Kini semantik dianggap sebagai komponen bahasa yang tidak dapat dilepaskan dalam pembicaraan linguistik. Tanpa membicarakan makna pembahasan linguistik belum dianggap lengkap karena sesungguhnya tindakan berbahasa itu tidak lain dari pada upaya untuk menyampaikan makna-makna itu. Ujaran-ujaran yang tidak bermakna tidak ada artinya sama sekali.
Makna sebagai objek dalam studi semantik ini memang sangat rumit persoalannya, karena bukan hanya menyangkut persoalan dalam bahasa saja tetapi juga menyangkut persoalan luar-bahasa. Faktor-faktor luar bahasa seperti masalah agama, pandangan hidup, budaya, norma dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat turut meruwetkan persoalan semantik.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Semantik
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantiks) berasal dari bahasa Yunani sema ( kata benda yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang disini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu yang terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.
Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.
Selain istilah semantik dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semiotika, semiologi, semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Namun, istilah semantik lebih umum digunakan dalam studi linguistik karena istilah-istilah yang lainnya itu mempunyai cakupan objek yang lebih luas, yakni mencakup makna tanda atau lambang pada umumnya. Termasuk tanda-tanda lalu lintas, kode morse, tanda-tanda dalam ilmu matematika. Sedangkan cakupan semantik hanyalah makna atau arti yang berkenan dalam bahasa sebagai alat komunikasi verbal.
Semantik merupakan cabang linguistik yang mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu sosial lain seperti sosiologi dan antropologi; bahkan juga dengan filsafat dan psikologi. Sosiologi mempunyai kepentingan dengan semantik karena sering dijumpai kenyataan bahwa penggunaan kata-kata tertentu untuk mengatakan sesuatu makna dapat menandai identitas kelompok dalam masyarakat. Kata uang dan duit memiliki makna yang sama, tetapi penggunaannya dapat menunjukkan identitas kelompok yang menggunakannya. Begitu juga dengan penggunaan kata besar dan gede; atau kata wanita dan cewek. Sedangkan antropologi berkepentingan dengan semantik, antara lain, karena analisis makna sebuah bahasa dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya pemakainya.
Selain itu dalam bahasa yang penutruya terdiri dari kelompok kelompok yang mewakili latar belakang budaya, pandangan hidup,dan status sosial yang berbeda, maka makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan. Umpamanya kata butuh dalam masyarakat Indonesia di Pulau Jawa berarti ‘perlu’, tetapi dalam masyarakat Indonesia di Sumatera Timur berarti ‘kemaluan laki-laki’.
B. Sejarah Semantik
Para pemikir/filusuf Yunani sejak dulu telah mengkaji dan mendiskusikan isu-isu yang dapat dikatagorikan sebagai “embrio” semantik. Studi semantik pada saat itu dapat dijadikan sebagai barometer kemajuan berpikir seseorang (Umar, 1982). Aristoteles sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata, yang menurutnya adalah satuan terkecil yang mengandung makna (Aminuddin, 2003).
Dalam kaitannya dengan “makna”, Aristoteles membedakan antara bunyi dan makna, Disebutkan, bahwa makna itu sesuai dengan konsep yang ada pada pikiran. Dia membedakan antara sesuatu yang ada di dunia luar (al-asyya’ fil ‘alam al-khariji), konsep/makna (at-tashawwurat/al-ma’ani), dan bunyi/lambang atau kata (ar-rumuz/al-kalimat) (Umar, 1982). Bahkan Plato (429—347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas antara etimologi, studi makna, maupun studi makna kata belum jelas (Aminuddin, 2003).
Semantik sebagai subdisiplin linguistik muncul pada abad ke-19. Pada tahun 1825, seorang pakar klasik berkebangsaan Jerman bernama C. Chr.Reisig mengemukakan pendapatnya tentang tatabahasa (grammar). Dia membagi tatabahasa menjadi tiga bagian utama, yaitu (1) semasiologi, ilmu tentang tanda, (2) sintaksis, studi tentang kalimat, dan (3) etimologi, studi tentang asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna (Pateda, 2001, Chaer, 2002, dan Aminuddin, 2003).
Istilah semasiologi yang berasal dari Reisig ini berpadanan dengan istilah semantik (Pateda, 2001). Istilah semantik itu sendiri pada saat itu masih belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. (Aminuddin, 2003). Berdasarkan pandangan Reisig ini, perkembangan semantik dapat dibagi atas tiga fase (Pateda, 2001). Fase pertama meliputi masa setengah abad, termasuk di dalamnya kegiatan Reisig. Fase ini biasa disebut the underground period of semantiks.
Fase kedua, awal tahun 1883 (dalam buku Pateda, 2001 disebutkan awal tahun 1880) dimulai dengan munculnya buku karya Michel Breal, seorang berkebangsaan Perancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectuelles du langage”. Pada masa itu, studi semantik lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi maupun kriteria lainnya. Karya klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 ini adalah Essai de Semantique Science des Significations (1897), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Semantiks: Studi in the Science of Meaning (Pateda 2001 dan Aminuddin, 2003).
Fase ketiga, yakni tiga dekade pertama abab XX merupakan masa pertumbuhan studi tentang makna. Fase ini ditandai dengan pemunculan buku berjudul Meaning and Change of Meaning with Special Reference to the English Language (1931) karya filosof Swedia bernama Gustaf Stern (Pateda, 2001 dan Aminuddin, 2003). Stern dalam kajiannya sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris (Aminuddin, 2003). Sebelumnya, yakni pada tahun 1916, Ferdinand de Saussure yang sering disebut sebagai bapak linguistik modern telah menulis buku berjudul Cours de Linguistique Generale (pada tahun 1959, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Course in General Linguistiks). Dia berpendapat, bahwa studi linguistik harus difokuskan pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu (Chaer, 2002). Dengan demikian, studi bahasa yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sementara itu, studi tentang sejarah dan dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis (Aminuddin, 2003).
Pandangan de Saussure tersebut berimplikasi pada studi semantik yang dicirikan oleh (i) pandangan yang bersifat historis telah ditinggalkan karena pendekatannya sinkronis, meskipun masalah perubahan makna masih juga dibicarakan; (ii) perhatian diarahkan pada strukutr kosa kata; (iii) semantik dipengaruhi oleh stilistika; (iv) studi semantik telah diarahkan pada bahasa tertentu dan tidak bersifat umum lagi; (v) dipelajari hubungan antara bahasa dan pikiran karena bahasa tidak dianggap sebagai kekuatan yang menentukan dan mengarahkan pikiran; (vi) meskipun semantik telah melepaskan diri dari filsafat, namun tidak berarti bahwa filsafat tidak dapat membantu perkembangan semantik (Pateda, 2001, Chaer, 2002, dan Aminuddin, 2003).
Menurut de Saussure yang nama lengkapnya Mongin Ferdinan de Seassure (kelahiran Jenewa pada tahun 1857), suatu bahasa terdiri atas satu perangkat tanda atau ‘signs’ yang merupakan kesatuan dari signifiant (penanda atau bagian bunyi ujaran) dengan signifie (tertanda atau bagian arti). Masing-masing tanda tersebut tidak dapat dipisahkan, karena ucapan atau artinya ditentukan oleh perbedaan dengan tanda-tanda di dalam sistemnya. Tanpa sistem yang ada dalam sutau bahasa, kita tidak mempunyai landasan untuk membicarakan bunyi atau konsep/arti (Sampson, 1980). Istilah semantik pun bermacam-macam, antara lain, signifik, semasiologi, semiologi, semiotik, sememmik, dan semik. Palmer (1976), Leech (1974), dan Lyons (1977) menggunakan istilah semantik (Djajasudarma, 1, 1993).
Dalam kaitannya dengan “makna”, Aristoteles membedakan antara bunyi dan makna, Disebutkan, bahwa makna itu sesuai dengan konsep yang ada pada pikiran. Dia membedakan antara sesuatu yang ada di dunia luar (al-asyya’ fil ‘alam al-khariji), konsep/makna (at-tashawwurat/al-ma’ani), dan bunyi/lambang atau kata (ar-rumuz/al-kalimat) (Umar, 1982). Bahkan Plato (429—347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas antara etimologi, studi makna, maupun studi makna kata belum jelas (Aminuddin, 2003).
Semantik sebagai subdisiplin linguistik muncul pada abad ke-19. Pada tahun 1825, seorang pakar klasik berkebangsaan Jerman bernama C. Chr.Reisig mengemukakan pendapatnya tentang tatabahasa (grammar). Dia membagi tatabahasa menjadi tiga bagian utama, yaitu (1) semasiologi, ilmu tentang tanda, (2) sintaksis, studi tentang kalimat, dan (3) etimologi, studi tentang asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna (Pateda, 2001, Chaer, 2002, dan Aminuddin, 2003).
Istilah semasiologi yang berasal dari Reisig ini berpadanan dengan istilah semantik (Pateda, 2001). Istilah semantik itu sendiri pada saat itu masih belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. (Aminuddin, 2003). Berdasarkan pandangan Reisig ini, perkembangan semantik dapat dibagi atas tiga fase (Pateda, 2001). Fase pertama meliputi masa setengah abad, termasuk di dalamnya kegiatan Reisig. Fase ini biasa disebut the underground period of semantiks.
Fase kedua, awal tahun 1883 (dalam buku Pateda, 2001 disebutkan awal tahun 1880) dimulai dengan munculnya buku karya Michel Breal, seorang berkebangsaan Perancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectuelles du langage”. Pada masa itu, studi semantik lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi maupun kriteria lainnya. Karya klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 ini adalah Essai de Semantique Science des Significations (1897), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Semantiks: Studi in the Science of Meaning (Pateda 2001 dan Aminuddin, 2003).
Fase ketiga, yakni tiga dekade pertama abab XX merupakan masa pertumbuhan studi tentang makna. Fase ini ditandai dengan pemunculan buku berjudul Meaning and Change of Meaning with Special Reference to the English Language (1931) karya filosof Swedia bernama Gustaf Stern (Pateda, 2001 dan Aminuddin, 2003). Stern dalam kajiannya sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris (Aminuddin, 2003). Sebelumnya, yakni pada tahun 1916, Ferdinand de Saussure yang sering disebut sebagai bapak linguistik modern telah menulis buku berjudul Cours de Linguistique Generale (pada tahun 1959, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Course in General Linguistiks). Dia berpendapat, bahwa studi linguistik harus difokuskan pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu (Chaer, 2002). Dengan demikian, studi bahasa yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sementara itu, studi tentang sejarah dan dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis (Aminuddin, 2003).
Pandangan de Saussure tersebut berimplikasi pada studi semantik yang dicirikan oleh (i) pandangan yang bersifat historis telah ditinggalkan karena pendekatannya sinkronis, meskipun masalah perubahan makna masih juga dibicarakan; (ii) perhatian diarahkan pada strukutr kosa kata; (iii) semantik dipengaruhi oleh stilistika; (iv) studi semantik telah diarahkan pada bahasa tertentu dan tidak bersifat umum lagi; (v) dipelajari hubungan antara bahasa dan pikiran karena bahasa tidak dianggap sebagai kekuatan yang menentukan dan mengarahkan pikiran; (vi) meskipun semantik telah melepaskan diri dari filsafat, namun tidak berarti bahwa filsafat tidak dapat membantu perkembangan semantik (Pateda, 2001, Chaer, 2002, dan Aminuddin, 2003).
Menurut de Saussure yang nama lengkapnya Mongin Ferdinan de Seassure (kelahiran Jenewa pada tahun 1857), suatu bahasa terdiri atas satu perangkat tanda atau ‘signs’ yang merupakan kesatuan dari signifiant (penanda atau bagian bunyi ujaran) dengan signifie (tertanda atau bagian arti). Masing-masing tanda tersebut tidak dapat dipisahkan, karena ucapan atau artinya ditentukan oleh perbedaan dengan tanda-tanda di dalam sistemnya. Tanpa sistem yang ada dalam sutau bahasa, kita tidak mempunyai landasan untuk membicarakan bunyi atau konsep/arti (Sampson, 1980). Istilah semantik pun bermacam-macam, antara lain, signifik, semasiologi, semiologi, semiotik, sememmik, dan semik. Palmer (1976), Leech (1974), dan Lyons (1977) menggunakan istilah semantik (Djajasudarma, 1, 1993).
C. Manfaat Semantik
Manfaat yang dapat dipetik dalam studi semantik sangat tergantung dari bidang apa yang kita gelutidalam tugas kita sehari-hari bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaan praktis dan pengetahuan mengenai semantik. Pengentahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna ang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum. Tanpa pengetahuan akan konsep-konsep polisemi, homonimi, denotasi, konotasi, dan nuansa-nuansa makna tentu akan sulit bagi mereka untuk dapat mereka untuk dapat menyampaikan informasi secara tepat dan benar.
Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti mereka yang belajar di Fakultas Sastra, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis kepadanya untuk dapat menganalisis bahasa atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik, akan memberi manfaat teoritis dan juga manfaat praktis. Manfaat teoretis karena dia sebagai guru bahasa harus pula mempelajari dengan sungguh-sungguh akan bahasa yang diajarkannya. Teori-teori semantik ini akan bahasa yang diajarkannya. Teori-teori semantik ini akan menolongnya memahami denga lebih baik “rimba belantara rahasia” bahasa yang akan diajarkannya itu. Sedangkan manfaat praktis akan diperoleh berupa kemudahan bagi dirinya dalam mengajarkan bahasa itu kepada murid-muridnya. Seorang guru bahasa, selain harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang luas mengenai segala aspek bahasa, juga harus memiliki pengetahuan teori semantik secara memadai. Tanpa pengetahuan ini dia tidak akan dapat dengan tepat menjelaskan perbedaan dan persamaan semantik antara dua buah bentuk kata, serta bagaimana menggunakan kedua bentuk kata, serta bagaimana menggunakan kedua bentuk kata yang mirip itu dengan benar.
Adakah manfaat semantik bagi orang awam? Tentu saja ada. Memang bagi orang awam, atau bagi orang-orang kebanyakan pada umumnya, pengetahuan yang luas akan teori semantik tidaklah diperlukan untuk dapat memahami dunia di sekelililngnya yang penuh dengan informasi dan lalu lintas kebahasaan. Semua informasi yang ada disekelilingnya, dan yang juga harus mereka serap, berlangsung melalui bahasa, melalui dunia lingual. Sebagai manusia bermasyarakat tidak mungkin
D. Hubungan Semantik dengan Disiplin Ilmu Lain
Sosiologi mempunyai kepentingan dengan semantik karena sering dijumpai kenyataan bahwa penggunaan kata-kata tertentu untuk mengatakan sesuatu makna dapat menandai identitas kelompok dalam masyarakat. Kata ‘uang’ dan ‘duit’ memiliki makna yang sama tetapi penggunaannya dapat menunjukkan identitas kelompok yang menggunakannya.
Antropologi berkepentingan dengan semantik antara lain karena analisis makna sebuah bahasa dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya pemakainya. Budaya masyarakat Inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi.
Persoalan makna bukan saja dipelajari dalam semantik tetapi juga filsafat, logika dan psikologi. Dengan kata lain bahwa adanya hubungan antara linguistik yang memelajari makna dengan disiplin ilmu-ilmu lain diatas. Hubungan tersebut dikemukakan oleh George (i64:24) sebagai berikut :
Telah diketahui bahwa manusia dalam berkomunikasi menggunakan kalimat(namun ada pula yang berkomunikasi secara non verbal). Kalimat merupakan kajian sintaksis, sedangkan kalimat diucapkan oleh manusia mengandung makna. Dengan demikian dapat dilihat adanya hubungan antara tataran linguistik berupa sintaksis dan semantik.
Lebih lanjut George (1964) berpendapat bahwa selain hubungan antara linguistik, psikologi, logika dan filsafat, tampak pula kedudukan pragmatic semantik behavioral. Kemudian ada pula hubungan antara linguistik, psikologi, logika dan filsafat, tampak pula adanya filsafat linguistik.
Batas-batas pendekatan seorang linguis, filsuf, psikolog, dan orang yang bergerak dalam bidang logika dalam semantik susah untuk dijelaskan.
Semantik sebagai ilmu, memelajari pemaknaan dalam bahasa dan terbatas pada pengalaman manusia. Jadi, secara ontologism semantik membatasi masalah pada pengalaman yang dikajinya hanya pada persoalan yang terdapat didalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia. Selain itu semantik membicarakan apa yang ditandai. Hal tersebut dikemukakan oleh Morris (1946) dalam bukunya berjudul signa, language dan behavior. Jadi jika seekor anjing bereaksi berharap adanya makanan apabila mendengar bel, maka bel tersebut sebagai penanda adanya makanan.
Sifat kemajemukan bahasa sering menimbulkan kekacauan semantik, misalnya dua oarng sedang berkomunikasi menggunakan kata yang sama untuk pengertian yang berbeda, atau sebaliknya. Namun kekacauan semantik dapat dihindari dengan prinsip kooperatif. Namun Kempson (1997:6) prinsip kooperatif berhubungan dengan kuantitas kata, kuantitas pembicaraan, hubungan pembicaraan dan penyampaian yang jelas.
KESIMPULAN
Semantik merupakan cabang linguistik yang mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu sosial lain seperti sosiologi dan antropologi; bahkan juga dengan filsafat dan psikologi. Kata uang dan duit memiliki makna yang sama, tetapi penggunaannya dapat menunjukkan identitas kelompok yang menggunakannya. Begitu juga dengan penggunaan kata besar dan gede; atau kata wanita dan cewek. Jenis semantik terdiri atas semantik leksikal dan semantik maksud.
Manfaat yang dapat dipetik dalam studi semantik sangat tergantung dari bidang apa yang kita gelutidalam tugas kita sehari-hari bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaan praktis dan pengetahuan mengenai semantik. Pengentahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna ang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.
Studi serius mengenai bahasa Indonesia telah banyak dilakukan oleh orang. Semua segi dan aspek kebahasaan bahasa Indonesia telah pernah diteliti orang, meskipun masih banyak yang belum tuntas, termasuk masalah semantiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineke Cipta
Anonim1. 2011. http://bahasa.kompasiana.com/2011/11/15/pengertian-dan-sejarah-semantik. Diakses tanggal 24 Desember 2011
Anonim2. 2011. http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/03/sejarah-dan-pengertian-semantik.html. Diakses tanggal 24 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar