Seumpama ia mampu menoleh, sementara aku berada di hadapannya menyokong dagunya. Agar tak tunduk sedikit pun, atau segala hal yang membuatnya kelihatan sangat lemah. Tak akan kubiarkan ia menoleh, melihat dia yang dulu lagi. Dia terlalu emas untuk kubiarkan sendiri, sepi, tertunduk, dan berusaha sendiri. Terlalu mudah untuk membaca kepalsuan senyumnya. Ayolah, jangan sok tegar di hadapanku. Intonasimu terlalu acak, terlalu mudah saya membaca semua itu. Ayolah, jangan palsu.
Sudah !
Saya tak mau memaksamu, saya harusnya merayumu dengan halus untuk ini.
Sayangnya, saya tidak tahu harus mulai dari mana. Sangat sayang, kau bukan tipikal orang yang curhat secara vulgar. Terlalu setengah-setengah. Saya tidak suka.
Kau seperti ingin menyentuhnya. Saya memperhatikan, tapi berusaha tidak merasakannya. Menjauh.
Sledet sedetik, mencoba sedikit mengintip, melirik rendah. Kau membuat saya merasa aneh. Mau mencoba menyentuh balik, tapi tidak berani. Tidak semudah itu menyentuhmu, dan tidak semudah itu saya menyentuh. Your heart is too soft, I can't touch it directly, just slowly.
Tapi sekarang, saya mulai menggenggamnya, perlahan semua membaik. Semua telihat begitu nyaman, entah kenapa. Kau berusaha sok polos, nyatanya kau hanya rumit, saya suka.
Saya percaya, kau bisa percaya saya. Seperti biasa saya bisa dengan cepat memercayai orang, tapi bisa lebih mudah hancur. Yup, datar lah.
Faktanya, celakanya, saya terlalu cepat jatuh untukmu. Secepat ini ? Semudah ini ? SIAL !
Tapi, tenang. Saya masih bisa seimbangkan. Saya masih bisa tenang, berusaha untuk tidak terlalu labil. HAHAHAHA…
Jangan terlalu kaku, saya aku tak akan mengunyahmu. Dagingmu terlalu alot bagiku dan banyakan tulang dari dagingnya. Darahmu juga sepertihnya pahit. Cuma senyummu saja yang memaniskannya.
Saat saya menuliskan ini, saya mencoba menjauh dari getaran bertubi hand phoneku. Saya tidak mau kau mengganggu, saat saya berusaha menciptakan replika dirimu dalam imajinasi yang mungkin sedikit abstrak dalam dunia tanpa batasku, dalam pikiranku. Baru sejam yang lalu saya menghidupkannya, saya sudah banyak mengenalnya. Berbeda dengan mu, selama hampir dua tahun telah menyenggolmu sampai sekarang masih banyak pertanyaan yang belum terselesaikan.
Pikiranmu seperti permainan rubic yang kucoba selesaikan, masih penasaran. Di sinilah gunanya kata ‘waktu’ kusisipkan. Sekadar mengatakan, biarkan waktu yang menjawabnya, sabar saja, perlahan pasti terjawab.
Gila !
Di tulisan ini justru saya terlalu banyak memuji. BODOH !
Sudahalah, maafkan saya untuk ini. Banyak meng-hiperbola-kan tentang indahnya kau, padahal tidak seperti itu. Maaf.
Wonderful !
Indah memang. Sesekali menghidupkan replikamu dalam imajinasiku, sambil memandangi dari balik jendela kantor, selembar bendera merah putih diikat di ujung tiang bambu yang berdiri tegak di warung sebelah. Tidak nyambung memang.
Maaf, saya cuma berusaha romantis dalam tulisan ini. Sayangnya, yang sering terlihat cuma bendera merah putih itu saja. Tak apalah. HAHAHAHA..
Setelah ini, saya mungkin akan belajar untuk menjadi orang yang bisa berdiri tegap di sampingmu dan terus menatap kedepan sambil tersenyum. Yah, mungkin saya harus lebih dulu belajar untuk membiasakan diri tersenyum, dan selalu tersenyum. HAHAHAHA..
Kau terlalu menghargai saya, kau terlalu sabar, dan saya suka. Kau tahu semua batas, tanpa saya jelaskan panjang lebar. Pertanyaan yang kemudian mungkin tidak bisa terjawab, kenapa dulu justru kau sakit ?
Entahlah.
Sudahlah, asudah terlalu jauh kayaknya. Jelasnya, intuisiku berteriak sekuat tenaga untuk memercayaimu. Semoga saya tidak mengecewakanmu. Big thanks to you.
Makassar, 12 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar